Jadi Anak Muda itu Ngga Mudah

Tulisan Agis Naufal Alhakim Salsabila

Repost Kiriman Facebook Sumber asli klik di sini

Dalam satu bulan terakhir, beberapa orang teman dekat di waktu yang berbeda mengobrol dengan saya. Kami mengeluh tentang kecerobohan dan kebodohan apa saja yang telah kami lakukan belakangan ini. Kenyataan bahwa kami harus bersinggungan dengan orang-orang yang lebih hebat, pintar, dan cekatan membuat kami merasa ada sesuatu yang harus diperbaiki. 


Atas dasar validasi, kami setuju jika usaha dan kerja keras kami kurang dibanding mereka yang sudah hebat dan sukses di usia muda. “Gimana kita bisa sukses kalau cuma rebahan sembari bermain handphone lebih dari dua jam?” Begitu pikir kami.


“There are way easier places to work, but nobody ever changed the world on 40 hours a week.” – Elon Musk.


Musk percaya bahwa seseorang yang ingin membuat perubahan perlu bekerja lebih lama dan tidur lebih sedikit—membuat kami percaya kalau mengeksploitasi diri sendiri adalah cara terbaik untuk sukses. Sudut pandang itu bisa dijelaskan dengan fenomena hustle culture dimana cara bekerja tanpa henti masih terus dipeluk erat oleh kami yang percaya: usaha tidak mengkhianati hasil. Bukan tanpa alasan kami terus percaya pada mimpi utopis bahwa kesuksesan bisa datang pada siapa saja yang berusia muda selagi mereka terus berusaha.


Berbeda dengan apa yang pernah saya amati pada karakter Beth dalam serial The Queen’s Gambit (2020). Beth bisa menjadi penggambaran anak muda yang justru kehilangan masa mudanya karena kesuksesannya—tidak pernah merasakan masa muda yang busuk: merasa kecil dan tidak berguna, bingung mencari passion ke sana ke mari, belum lagi harus gagal dan merasa bodoh berulang kali.


Dari penggambaran tersebut, kami belajar bahwa kita perlu menyingkirkan tujuan untuk menyetarakan diri dengan mereka yang kita pikir sudah sukses dengan cara berlari. Karena sungguh, jika kita melakukan segala hal untuk itu, pasti akan sangat melelahkan. Alasannya sederhana, mereka melakukan segala usaha bukan untuk menang melawan kita. Berlari dengan keras adalah satu hal yang tidak salah-salah amat untuk dilakukan. Tapi jangan lupa pada sandwich generation yang juga sama-sama berlari, walau harus menopang masa depan sekaligus memikul beban berat keluarganya. 


Pada kenyataannya, kita mungkin sama-sama berlari untuk satu tujuan, tapi dengan titik awal yang berbeda, memikul beban yang juga berbeda, pun di jalur yang berbeda. Kita semua punya arena masing-masing, walau nahasnya kita selalu khawatir akan tertinggal.


Mungkin benar, terasa menyenangkan jika kita bisa sukses semuda dan secepat mungkin, mendapatkan sanjungan di sana sini, berada di podium satu tingkat lebih tinggi, dengan banyak orang yang berusaha menjalin hubungan baik dengan kita; pertanda bahwa mereka tidak memandang kita sebelah mata. Tapi jika itu kita dapatkan di usia muda, lantas apa setelahnya?


Percakapan saya dengan beberapa teman berakhir antiklimaks. Kami hanya sama-sama yakin pilihan terbaik adalah menjalani saja apa yang ada di depan mata. Kami akan terus mengeluh jika periode kelam di masa muda kami datang lagi, masa ketika kami merasa tidak berguna dan menjadi sampah. Lalu kami akan bangun di pagi hari, kembali beraktivitas, bertemu beberapa orang hebat, dan menikmati semesta masa muda dengan penuh sukacita dan dukacita, hingga satu waktu kami ingin kembali lagi ke masa ini.

Post a Comment

0 Comments