Menjomblo-Menikah Fi Sabilillah
Saya bosan ditanya kapan menikah keluh seorang teman dengan muka
sangat lelah, dia mengira saya akan iba dengan curhatan penuh kegalauannya itu.
Langsung saya timpali tanpa sedikitpun menampakan empati. Sekarang begini saja,
ente punya alasan untuk menjomblo tidak? Kalau punya, nikmati dan jangan
pedulikan pertanyaan basi. Kalau tidak, segeralah menikah!. Tidak punya calon
atau duit segera cari.
Sebenarnya ada hal yang lebih penting dan mendasar soal pilihan
tetap menjomblo atau cepat menikah, lagi-lagi ini soal ideologi kita mengenai
kehidupan ini. Sederhananya kita cukup bertanya pada diri sendiri, apakah
kejombloan yang kita jalani mendekatkan
diri pada Tuhan atau malah sebaliknya? Kejombloan seharusnya menjadi pilihan
suka rela penuh keyakinan, bertujuan, punya alasan jelas yang masuk akal. Jangan sampai karena jomblo jadi hobi nonton
video porno, berimajinasi saat mandi, atau menjadi penikmat prostitusi, naudzu
billahi min dzalik.
Begitupun saat seseorang memutuskan untuk mengakhiri kelajangan. Hukum
menikah pada dasarnya adalah mubah, jadi seseorang mau menikah atau tidak
terserah. Nikah bisa menjadi wajib, sunah, haram, atau makruh, bergantung
kepada situasi dan kondisi seseorang. Misalkan ada seorang pemuda yang sudah
tak kuat lagi menahan birahi, jika tak segera dinikahkan akan banyak menghamili
anak kambing tetangga, maka wajib bagi dia menikah. Namun dapat kita bayangkan
rumah tangga macam apa yang akan dibangun diatas pondasi ketakutan tumpahnya birahi
atau ketakutan menanam benih di kandang kambing.
Memangnya tidak boleh yah menikah karena takut zina? Tentu boleh, dari
pada zina lebih baik segera menikah. Tetapi jika kita mau coba renungi, tujuan
sejati menikah itu apa sih? Apakah manusia menikah hanya karena makhluk yang
berpasang-pasangan? Atau menikah utuk berkembang biak agar tidak punah? Ataukah
pernikahan memiliki tujuan lain, ada visi, misi, serta orientasi yang lebih besar
dari sekedar memenuhi kebutuhan biologis semata.
Dalam Al-Quran tidak ada satupun ayat yang memerintahkan seseorang
untuk menikah. Justru yang didapati dalam Al-Quran adalah perintah menikahkan
seseorang yang sudah memerlukannya. Agama Islam tidak perlu repot menyuruh si
homosapien untuk menikah. Selama lahir dan batin seseorang tumbuh dan
berkembang dengan baik, keinginan menikah secara alamiah akan muncul pada benaknya.
Hukum Syariat kemudian datang guna mengatur SOP pernikahan. Saat seseorang
hendak menikah agama hadir untuk memberikan seperangkat juklak dan juknis serta
aturan main dalam pernikahan, bahkan saat mau bercerai pun ada ketentuannya,
tapi bukan berarti agama menyuruh seseorang untuk bercerai.
Kembali ke tujuan menikah yang tak boleh sederhana. Bukankah indah jika
menikah selain dengan cinta juga dengan cita membangun peradaban. Tujuan luhur memperbaiki
bangsa sepertinya akan jauh lebih realistis jika dimulai dari membangun keluarga.
Kemudian melahirkan anak-anak yang merdeka dan berdaulat sejak dalam kandungan,
bahkan saat goyangan ibu dan ayahnya diatas ranjang. Rahim seorang perempuan yang
punya tekad luhur dibuahi oleh pancaran sperma laki-laki dengan asa, cita, dan cinta
yang agung, sehingga Generasi yang terdidik
intelektual, spiritual, dan emosionalnya akan dilahirkan.
Dalam sebuah riwayat sayyidina Ali Karamallahu Wajhah berkata: didiklah
anak-anak kalian 20 tahun sebelum mereka dilahirkan. Dari sini kita dapat mengambil
hikmah, dengan mendidik diri saat masih menjomblo juga membawa pengaruh kepada keturunan
kita. Tentu juga saat kita memilih pasangan dan memutuskan menikahinya. Hal ini
akan menjadi sederet komposisi sebab yang melahirkan akibat.
Kalau mau liat undang-undang perkawinan disana ada batas usia
minimal bagi pria dan wanita kapan mereka dapat dianggap sah menikah secara konstitusi.
Kendatipun dalam agama tidak ada aturan semacam itu, namun kematangan calon pasutri
harus menjadi pertimbangan utama. Dalam aturan fiqh selama kedua calon mempelai
sudah dewasa dan tidak gila maka bisa dinikahkan, tentu dengan rukun dan
syaratnya. Adapun dalam undang-undang pernikahan paling baru, usia minimal bagi
perempuan dinaikkan dari 16 tahun menjadi
19 tahun disamakan dengan usia calon mempelai laki-laki. Jika memang si calon mempelai
perempuan masih di bawah umur, kedua orangtuanya dapat mengajukan dispensasi ke
pengadilan untuk dapat melangsungkan pernikahan.
Mahligai rumah tangga adalah
bangunan yang paling Allah cintai begitu kata Nabi. Semakin kokoh sebuah bangunan
tentu akan semakin dicintai. Kokohnya konstruksi rumah tangga tentu bukan soal seberapa
banyak materi atau secantik dan seganteng apa pasangan, namun kesiapan dua insan
untuk memulai ibadah paling panjang. Pernikahan
merupakan ibadah yang tak sebentar. Membutuhkan kekhusyuan sepanjang waktu, kesabaran
tanpa batas, jihad tanpa akhir, dan belajar tanpa wisuda dan ijazah. Tak dipungkiri
banyak sekali orang yang terlanjur sange
pada ibadah yang satu ini.
Lalu bagaimana saat birahi meletup-letup seperti gunung merapi yang sudah
siap mengeluarkan laharnya? Agama Islam mengajarkan anak muda untuk menundukan pandangannya
guna menjaga diri dan kehormatannya. Lalu bagaimana jika level waspada naik jadi
siaga atau hampir jadi awas? Berpuasalah, puasa memiliki banyak manfaat salah satunya
menahan gejolak hasrat senggama.
Melalui tulisan ini saya tidak mengkampanyekan untuk menikah atau tidak
menikah. Selama pilihan menjomblo atau menikah untuk tujuan mendekatkan diri kepada
sang Khalik insyaAllah semuanya akan berakhir baik. Mejomblo menikah harus fi sabilillah.
Jangan menikah hanya karena di suruh mamah atau ayah, jangan juga menunda nikah
karena takut ini itulah.
Aku jadi teringat kata-kata seorang guru, sepasang kekasih melihat pernikahan
seumpama melihat gunung dari kejauhan, begitu sangat indah. Tetapi saat ditempuh
ada jalan berliku dan terjal, penuh halangan dan rintangan akhirnya keindahannya
nampak hilang. Disanalah diuji kesiapan, kematangan, dan bekal yang mereka siapkan.
Akhirnya saat mereka sukses menggapai puncak, keindahannya jauh lebih dahsyat dari
apa yang mereka lihat dari bawah gunung.
Banjar, 26 Mei 2021
Mursyid Al Haq
0 Comments