Investasi Saham sebagai
Jihad Ekonomi dan Jalan Juang Santri Zaman Now
Pada
era Revolusi Industri 4.0 mudah-mudahan sudah tak ada lagi santri yang kerjanya
cuma ngopekin koreng, garuk-garuk buduk, atau nungguin bisul pecah sambil
menghafal Tasrifan dan Jurumiyah. Bukan karena apa-apa tapi dunia
hari ini sungguh telah berubah. Para santri sebagai penerus estafeta perjuangan
kemerdekaan dalam agenda resolusi jihad santri dan ulama (Baca sejarah
penetapan hari santri nasional), harus terus mengambil peran dan tanggung jawab
secara nyata.
Jihad
ekonomi adalah salah satu jalan-ninja perjuangan yang amat fundamental dan
penting. Bahkan dalam buku-buku sejarah Islam tercatat bahwa Kanjeng Nabi
Muhammad merupakan seorang manajer ulung sekaligus amanah yang telah sukses mengelola
bisnis dagang skala ekspor-impor, sehingga membuat perusahaan milik Khadijah berkembang
dan terus mendulang cuan. Sejarah perjuangan ekonomi Baginda Nabi tak dapat
dipisahkan dari perjalanan dakwahnya
yang spektakuler itu.
Tak
salah jika Michael H. Hart menempatkan Muhammad Saw sebagai tokoh nomor wahid
paling berpengaruh di dunia dalam bukunya yang berjudul; The 100 A Rangking Of
The Most Influential Persons In History. Nabi Muhammad melakukan gerakan dakwah
dengan holistis dan tuntas. Sang Nabi begitu terstruktur, sistematis, dan masif
membangun instrumen peradaban besar jangka panjang untuk umat manusia. Tidak
hanya mengajarkan urusan spiritual dan ibadah secara vertikal dengan Tuhan
semata, namun Nabi mengajarkan sekaligus
menjadi percontohan bagaimana hidup zuhud, kapan harus mengeluarkan zakat, humus,
infaq, sedekah, wakaf, qurban, dst sebagai ibadah horizontal berkaitan dengan sesama
manusia. Bahkan dalam Ilmu Fiqh diatur secara terperinci perkara kehidupan
sosial dalam hukum Mu’amalah.
Ajaran
zuhud atau zakat misalnya, bagaimana mungkin dapat diamalkan oleh seorang fakir.
Zuhud berarti tidak cinta dan terikat harta atau dunia. Lantas definisi zuhud macam apa bagi seseorang yang perutnya seringkali
kelaparan serta kebutuhan hidup primernya tak dapat dipenuhi. Begitupun zakat merupakan
sebuah kewajiban bagi seorang yang punya kelebihan harta (Muzzaki). Bagi
seorang Mustahik (golongan yang berhak menerima zakat) boro-boro
berzakat hidupnya saja dibayang-bayangi sekarat, akhirnya hidup enggan matipun
segan.
Muhammad
sebagai Nabi sekaligus figur umat Islam bukanlah sang hero seperti digambarkan
dalam Film Hollywood, berjuang sendirian mengamankan dunia dari kezaliman, lalu
umatnya cukup menonton dan menunggu diselamatkan. Para nabi diutus untuk mendidik
manusia agar dapat membebaskan dirinya secara mandiri, menjadikan jiwa serta raganya
berdaulat dan menyempurna sehingga ada dalam keselamatan. Para santri dan ulama
punya tugas dan amanah yang sama sebagai pewaris nabi dan rasul.
Kembali
kepada santri yang hingga saat ini masih punya citra jumud dan terbelakang. Ada
tugas dan tantangan besar untuk memutar balikan steteotif negatif terhadap para
pelajar agama khususnya di pesantren-pesantren Indonesia. Ekonomi adalah salah
satu instrumen penting kemajuan sebuah bangsa atau masyarakat. Bahkan
seringkali lapisan sosial dibagi atas dasar kekuatan ekonomi seseorang. Kendatipun
saya tidak setuju dengan pandangan matrealistik yang menjadikan orientasi
kehidupan sebatas yang nampak pada dimensi lahir, namun juga perlu disadari
bahwa menjadi kaya raya atau mencapai kebebasan finansial bukanlah hal yang haram.
Bukankah suksesnya dakwah Nabi sedikit banyaknya ditunjang juga dengan
insfrastruktur ekonomi yang mapan?
Berangkat
dari semangat evaluasi dan kesadaran ini, saya pikir para santri sebagai satu identitas
penting di tengah masyarakat punya potensi untuk melakukan sebuah gerakan jihad
ekonomi. Santri dapat menjadi pemantik yang akan menyalakan semangat umat
membangun kekuatan ekonomi. Jihad yang saya maksud adalah sebuah upaya
sungguh-sungguh untuk meningkatkan taraf ekonomi serta kesejahteraan sosial.
Di
era digital segala sesuatu menjadi begitu amat mudah. Misalnya aktivitas
kegiatan ekonomi berupa jual beli saham emiten dapat dilakukan seorang santri
sambil menunggu antrian kamar mandi. Dahulu transaksi di Bursa Efek terbatas
hanya untuk kalangan masyarakat menengah ke atas. Hari ini berbeda, siapapun
berkesempatan untuk memiliki surat kepemilikan saham atau surat berharga sebuah
perusahaan. Ini menjadi kesempatan emas untuk masyarakat termasuk juga para
santri.
Jihad
ekonomi bukanlah agenda temporer yang dapat tuntas dalam seribu satu malam. Perjuangan
semacam ini akan menjadi lebih panjang dari usaha untuk menghafalkan Al-Quran
30 Juz atau 1000 bait matan Kitab Al-Fiyah. Para santri dari kalangan Milenial
dan Gen-Z sudah seharusnya memiliki bekal ilmu ekonomi praktis termasuk melek
investasi, hal ini erat kaitannya dengan tingkat literasi digital dan literasi
finansial seseorang.
Hari
Santri Nasional (HSN) seharusnya menjadi momentum untuk memulai gebrakan besar.
Tahun ini menjadi peringatan HSN ke-6 sejak ditetapkan pada 22 oktober tahun
2015. Para santri berkewajiban menjadikan agenda ini sebagai kesempatan untuk melahirkan sekaligus
memulai ide dan gagasan baru yang relevan sesuai tuntutan zaman.
Tak
perlu terlebih dahulu muluk-muluk bermimpi menyaingi kekayaan 10 konglomerat paling
tajir di Indonesia (R. Budi Hartono, Michael Hartono, Sri Prakash Lohia, Prajogo
Pangestu, Chairul Tanjung, Tahir dan keluarga, Eddy Kusnadi Sariaatmadja, Jerry
Ng, Martua Sitorus, Theodore Rachmat). Para santri dapat mengawali langkah
kecilnya dengan membuka paradigma baru soal ekonomi. Di sela-sela kesibukan belajar
kitab kuning tak ada salahnya mempelajari bagaimana Lok Kheng Hong menjadi kaya
raya.
Rasanya
bukan hal mustahil jika suatu hari nanti para santri di pesantren-pesantren
adalah juga seorang pemilik saham perusahaan-perusahaan blue chip atau BUMN. Mengenakan
sarung lengkap dengan baju koko dan pecinya seorang santri terlihat gagah ikut duduk
dalam agenda Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) bersiap menerima dividen.
Mungkin
beberapa orang bertanya-tanya tentang ide gerakan santri melek investasi saham,
seperti pertanyaan salah satu teman saya di pesantren. Bagaimana caranya seorang
santri menjadi investor, wong penghasilan saja belum ada? Oke jadi begini
penjelasannya.
Pertama,
penting diketahui bahwa jumlah investor di Indonesia masih begitu sangat
sedikit, hanya sekitar lima persen dari total jumlah penduduk Indonesia.
Investasi adalah sebuah budaya yang lahir dari pola pikir yang maju dan terbuka.
Orang tua zaman dahulu sudah terbiasa menginvestasikan hartanya dalam bentuk
tanah atau emas, karena mereka tahu bahwa emas dan tanah dua hal yang tidak akan
mengalami penurunan nilai. Namun aneh bin ajaibnya kebiasaan itu tidak terwariskan
kepada generasi muda dewasa ini, justru budaya hidup yang cenderung konsumtif
dan hedonlah yang tumbuh subur. Gerakan santri melek investasi ini berangkat
dari semangat melawan budaya hidup boros serta mubazir yang amat dilarang
agama.
Kedua,
menjadi seorang investor tidak harus meninggalkan pekerjaan dan aktivitas. Sebagian
besar santri saat masih di pesantren memang belum punya penghasilan atau harta
kekayaan selain mengandalkan kiriman bulanan dari emak dan bapak. Tapi para
santri suatu saat akan menyelesaikan masa studinya. Setelah pulang dan mukim di
kampung halaman para santri mungkin akan bekerja sesuai dengan kemampuan dan
skillnya, mengajar di sekolah atau pesantren, berbisnis, dsb. Gerakan santri
melek investasi merupakan bagian dari pendidikan dan pembekalan bagi para
santri untuk kehidupannya nanti. Apapun profesinya kelak, yang jelas
pengetahuan dan wawasan investasi akan sangat berguna. Tidak menutup
kemungkinan dari sekian banyak santri yang ada sebagian dari mereka memiliki
minat dan potensi untuk jadi manajer investasi yang hebat dan sukses.
Berbekal
smart phone dan buku rekening setiap orang sudah bisa menjadi seorang investor
ritel. Membeli saham perusahaan Pertamina misalnya (PGAS) cukup dengan seharga kopi
saschetan setiap lembar sahamnya. Atau
membeli saham Indofood (INDF) dengan harga per lembar Rp. 6.825 lebih murah
dari semangkuk Indomie pake telur di kantin belakang pesantren.
Para
santri dapat bermimpi menjadi taipan berkaliber Warren Buffett. Jihad perjuangan
hari ini bagi para santri di samping terus mengaji dengan sungguh-sungguh, juga
mempersiapkan bekal berupa ilmu dan wawasan sesuai tuntutan zaman. Jihad tembak-tembakan
ala ISIS dan kawan-kawannya bukan hanya salah, tapi juga tak relevan dan
ketinggalan zaman.
Semua orang boleh mengutuk pemerintahan karena maraknya investor asing masuk ke Indonesia. Tapi para santri tak harus demikian, lebih baik melakukan gerakan senyap tapi pasti. Perlahan kita hidupkan budaya investasi di negeri ini. Para santri harus memberikan pemahaman sekaligus contoh kepada masayarakat luas bahwa investasi harus menjadi gaya hidup. Hentikan perilaku konsumtif mari mulai hidup produktif. Santri yang siaga jiwa dan raganya harus memiliki pikiran dan pandangan yang luas kedepan sesuai dengan kemajuan zaman.
Ditulis
oleh Mursyid Al Haq seorang mahasantri aktif Pesantren Tinggi/Ma’had
Ali Khatamun Nabiyyin. Telah tinggal dan belajar di pesantren sejak lulus
MI (Madarasah Ibtidaiyah) 12 tahun yang lalu. Tertarik dengan investasi saham karena
sang Ayah. Aktif menulis di media sosial dan blog (berartibesar.blogspot.com). Penanggung
jawab klub menulis pesantren (Khatam Menulis) dan Founder Sibook.id (Garasi Buku & Obrolan Keilmuan)
2 Comments
Semangat terus nak..
ReplyDeleteSangat menarik untuk dicoba, dulu waktu saya masih mondok di pesantren Khatamun Nabiyyin, sudah pernah menerapkan investasi (pembangunan mini market) dengan melibatkan seluruh santri.
ReplyDeleteDan hasilnya selain dapat cuan+pahala.
Mantap..