Karena Herry SeTitit, Rusaklah Pesantren Sebelanga

Karena Herry SeTitit, Rusaklah Pesantren Sebelanga

Tersebarnya berita seorang guru pesantren perkosa 12 santriwati benar-benar mengejutkan tiga dunia, dunia nyata, dunia maya, dan dunia pendidikan. Herry Wirawan memang keterlaluan, tindakannya di luar nalar, akal sehat, dan kewarasan. Sebagai seorang yang menyandang gelar ustaz sekaligus pimpinan pesantren, tindakan kriminalnya benar-benar membuat geram seluruh makhluk alam semesta, dari plankton hingga ikan paus Nabi Nuh, bahkan jin Iprit juga dibuat naik pitam oleh kelakuan Herry. Masyarakat yang selama ini menaruh kepercayaan dan rasa hormat lebih kepada orang agamis, benar-benar kecewa dan sakit hati mendengar aksi bejat Herry terhadap para santriwatinya.

Harusnya Herry masuk nominasi 100 manusia paling bejat urutan pertama. Kalau bagi saya Herry lebih bajingan dari tentara Israel yang konon katanya (selain memerangi rakyat Palestina) mereka juga memperkosa perempuan Palestina. Kendatipun memang tentara Israel bejat, tapi mereka melakukan kekejiannya terhadap kelompok musuh. Berbeda dengan Herry dia melakukan pemerkosaan terhadap anak didik yang seharusnya dia jaga, bina, dan bimbing agar tumbuh jadi perempuan hebat dan mulia.

Tidak salah sih jika kemudian kepercayaan masayarakat atau publik menurun terhadap institusi pendidikan agama (pesantren). Orang tua yang mau pesantrenin anak gadisnya mikir dua kali, karena dalam benak mereka kebayang-bayang muka si Herry. Namun dari kejadian ini saya pribadi sebagai orang pesantren jadi paham arti pribahasa “Karena Nila Setitik Rusak Susu Sebelanga”. Saya tidak bermaksud membela atau menutupi hal-hal negatif atau buruk yang ada di lingkungan pesantren. Terus terang saja saya sering mengkritik dan mendiskusikan kekurangan dan sisi gelap pesantren. Itu semua saya lakukan sebagai upaya evaluasi dan perbaikan agar pesantren dapat terus eksis dan maju berkembang mengikuti zaman, bahkan menjawab persoalan kehidupan paling anyar.

Kasus Herry bak tsunami yang meluluh lantakan citra positif guru pesantren. Guru pesantren yang selama ini dikenal ikhlas mendidik para santri tanpa pamrih, dilumat habis oleh berita “Herry Ustaz Predator” yang berseliweran di jagat maya. Teman saya yang sama-sama guru pesantren bilang begini, Herry memang jahanam, dia sudah menodai nama baik guru agama dan lembaga pesantren bersamaan dengan aksi bejatnya merusak kesucian dan masa depan para santriwati yang dia perkosa.

Bayangkan saja para ustaz yang selama ini ngajar di pesantren dengan ikhlas tanpa tujuan duniawi, berusaha terus mengajar, mendidik, membimbing para santrinya dengan ajaran agama tanpa rasa jemu, belum lagi mereka para guru agama tak punya jaminan ekonomi dan kesejahteraan sosial dari siapapun, tiba-tiba harus kena imbas negatif yang entah sampai kapan akan terekam dalam ingatan jutaan umat manusia. Akhirnya profesi dan pengabdian jadi seorang guru pesantren bukan hanya tak ada duitnya, tapi juga tak bergengsi dan melekat citra buruk yaitu sangean. Yang lebih bahaya dan membuat saya khawatir akan muncul stereotip dan stigma negatif yang tak proposional terhadap pesantren, sebab cara berpikir yang mudah menggeneralisasikan segala hal. Imbasnya pesantren harus kehilangan kepercayaaan masyarakat. Sekian banyak pesantren yang tersebar di Nusantara dengan jumlah sekitar 26.973 pasca tragedi mengerikan ini, harus mulai introspeksi diri sekaligus menanggung beban akibat buruk dan stigma negatif karena ulah Herry si anak dajal berbulu Kiai ini. Kita semua tentu mengutuk dan mengecam tindakan Herry sekaligus berdoa kepada Allah agar terhindar dari tindakan semacam itu Naudzu Billahi Min Dzalik.

Kendati demikian saya pikir kejadian kekerasan seksual di lingkungan pesantren tidak bisa dianggap sebagai fenomena gunung es, dengan artian kekerasan seksual yang tak nampak di lingkungan pesantren masih jauh lebih banyak. Karena kesannya pesantren jadi sarang predator. Padahal yang namanya predator bisa ada dimana saja, baik di pesantren, sekolah, kampus, masjid, gereja, atau rumah ibadah lainnya, di pasar, terminal, stasiun, bandara, pelabuhan, bahkan bisa terjadi di rumah sendiri.

Peristiwa mengerikan “Ustaz Predator” seharusnya disikapi dengan dewasa, baik oleh kalangan guru pesantren, juga oleh masyarakat secara umum. Kita harus akui bahwa pesantren sebagai lembaga pendidikan memang bukan sebuah intitusi agama yang dijamin kesuciannya, sehingga semua elemen harus terus mendukung dan mengawasi pesantren demi kemajuan dan keberlangsungannya. Tapi kehati-hatian dan kepaswadaan beda dengan paranoid terhadap pesantren. Apalagi yang punya anak perempuan di pesantren, saking was-wasnya, tiba-tiba cabut anaknya dari pesantren, padahal selama orang tua sudah menimbang dan memilih pesantren (tempat putrinya menimba ilmu) dengan selektif, orang tua tetap bisa tenang, sambil tetap bangun komunikasi yang baik dengan putra putrinya agar kejadian yang tak diinginkan dapat dicegah.

Kejadian ini juga dapat menjadi pelajaran, orang tua tidak bisa sembarangan memilih pesantren tempat belajar anaknya. Perlu pertimbangan matang, salah-salah memilih pesantren akibatnya bisa fatal. Kemudian saat orang tua menitipkan anaknya di pesantren, bukan berarti kewajiban ibu dan bapak untuk memberikan pendidikan bagi anaknya sudah tuntas, anak-anak harus terus dikawal dan dievaluasi selama proses pendidikannya. Yang tak kalah penting komunikasi dan kerjasama dengan para guru pesantren  juga harus terus dijalin dengan baik dan harmonis.

Para guru pesantren sedang diuji sekaligus ditantang zaman dan keadaaan, bagaimana dapat menujukan dan membuktikan bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan paling tua di Indonesia. kulitasnya yang teruji dapat senantiasa dipertahankan serta menjawab semua tantangan. Pesantren juga harus dapat memberikan jaminan dan kepastian keamanan bagi para santrinya, sehingga para orang tua dapat dengan tenang melepas putra-putri mereka untuk menuntut ilmu agama di pesantren. Kejadian mengerikan semacam ini harus dapat diantisipasi oleh pesantren bersama-sama masayarakat. Dengan demikian tidak akan lagi lahir lagi ustaz cabul atau orang cabul yang mengaku ustaz.

Saya mendengar salah satu tokoh agama mengeluarkan pernyataan, bahwa tempat paling aman untuk anak perempuan adalah di samping ibunya. Tapi setelah saya renungi dan pikir ulang, logika semacam ini tidak dapat diterima, toh ada juga kasus anak perempuan yang diperkosa ayahnya, kakaknya, kakeknya, pamannya, tetangganya. Saya juga akhirnya bingung memikirkan di mana tempat yang ramah untuk perempuan, terlebih untuk perempuan yang sedang proses menuju tumbuh dewasa. Mereka para gadis belia amat sangat rentan jika salah mendapatkan lingkungan dan pendidikan. Akhirnya saya mencoba mencari-cari serpihan sejarah bagaimana Kanjeng Nabi membesarkan putrinya Fatimah, padahal budaya dan pandangan masyarakat jahiliyah pada masa itu memandang perempuan tak ubahnya seperti barang dagangan, yang dapat dipakai dan dijual belikan sesuka hati. Kanjeng Nabi dengan sukses mendidik dan membesarkan Putrinya Siti Fatimah sehingga dapat tampil menjadi perempuan berkepribadian mulia juga terhormat. Fatimah putri Nabi jadi inspirasi dan figur untuk banyak perempuan hebat di dunia.

Kita semua memang memerlukan banyak pengetahuan dan wawasan untuk menyiapkan generasi masa depan. Diperlukan membaca dan mengkaji banyak literatur bagaimana Muhammad Saw Sang Nabi Allah membesarkan anak perempuanya? Bagaimana keluarga Nabi sukses menjaga kesucian di tengah bangsa barbar Arab Jahiliyah? Dengan begitu umat manusia dapat mengambil teladan dan menjadikannya sebagai panduan membesarkan putra-putri sebagai titipan dan karunia Tuhan yang akan dipertanggung jawabkan di hadapan Tuhan kelak.

Mursyid Al Haq
Mahasantri Pesantren Tinggi Khatamun Nabiyyin
Tim Redaksi Khatam Menulis (Klub Menulis Santri & Mahasantri)


Post a Comment

1 Comments

  1. Mantap kang tulisannya, bacanya gak terlalu kaku dan cukup menghibur.
    semangat dan terus berkarya, sukses selalu, saya tunggu tulisan selanjutanya..😄

    ReplyDelete