Berpacaran adalah Saling Mencintai dengan Cara Paling Tidak Manusiawi
Pacaran jadi klaster penyebaran
virus kemunduran pembangunan manusia. Percaya monggo ngga percaya ngga opo-opo.
Tapi hasil riset menjelaskan di Jakarta usia 14-21 tahun, separuhnya sudah
melakukan hubungan seks, menurut Boyke dalam webinar bersama BKKBN dan Astra. Aktivitas
seksual ini bisa disingkat KNPI tapi bukan Komisi Nasional Pemuda Indonesia yah,
KNPI disini kissing (berciuman), necking (mencium di area leher), petting (menggesekkan alat kelamin tetapi masih
dalam kondisi berbusana) dan intercourse (penetrasi
penis ke vagina). Temuan di luar Jakarta pun tidak kalah mengejutkan. Sebanyak
40 persen lebih remaja sudah melakukan hubungan seksual saat berpacaran atau
berkencan.
Ada
banyak jalan menuju roma, begitupun jalan menuju cinta itu kata pepatah. Dalam
sebuah Film India ada ungkapan yang menarik tentang kehidupan “Kita adalah para
musafir cinta dan akan bertemu di ujung jalan yang sama”. Ngomongin soal cinta
dan seribu satu jalan untuk menempuhnya, rasanya tidak akan selesai dibahas dalam
seribu satu malam bersama Aladin. Pacaran mungkin bisa disebut sebagai salah satu
metode memupuk rasa saling mencintai. KBBI mengartikan berpacaran menjalin
hubungan atas dasar kasih sayang tanpa ikatan perkawinan.
Kalau
mau diibaratkan sebagai jalan musafir cinta, pacaran adalah jalan Jakarta-Surabaya
via Palestina melewati jalur Gaza. Mereka yang memilih jalur ini akan terlebih
dahulu terkena serangan birahi yang ganas bak tentara Israel, atau minimal
kepalanya benjol terkena ciuman manja batu katapel anak-anak Palestina yang
tidak tepat sasaran. Dapat dibayangkan pacaran adalah perjalanan yang resiko
deritanya melebihi derita Nabi Daud dan Nabi Isa di tangan bangsa Yahudi yang
membangkang. Padahal ada jalan tol yang lebih mudah untuk dilalui, atau naik
kereta kelas bisnis sambil ngopi bersama bangsa Yahudi yang saleh membicarakan
perdamaian di masa depan. Pada akhirnya musafir cinta akan sampai di ujung jalan
dan menghasilkan rumusan perdamaian. Namun mereka yang memilih pacaran entah sudah
sampai mana perjalanannya, atau barangkali sudah mati bersama birahi dan
ejakulasi dini.
Saya
sebagai muslim (berdasarkan KTP) punya panutan Nabi Muhammad, namun sampai saat
ini belum pernah dengar atau baca dalam sejarah, Kanjeng Nabi didatangi pemuda
yang mau ngapelin anak gadisnya bawain martabak toping kurma dan kismis pada
malam Ahad. Entah karena Kanjeng Nabi kurang gaul, atau budaya pacaran belum
ada, atau mungkin memang pacaran ini haram seperti babi guling dan rica-rica
daging anjing. Kalau kata Kiaiku sih semua ulama sepakat tidak ada yang
membolehkan pacaran. Tapi kan ngga semua pacaran itu negatif dan merusak, ada
kok yang pacaran tetap menjaga kesucian, bahkan bisa saling memotivasi guna menunjang
karir untuk tumbuh bersama. Jadi pacaran tuh tetap ada sisi positifnya.
Iyah
memang pacaran ada sisi positifnya, positif hamil misalnya. Kalau soal saling
memotivasi yang berimplikasi pada pencapaian karir dan pengembangan diri
disebabkan pacaran itu sih bulshit nomor wahid. Justru semua prestasi dan
pencapaian seseorang akan jauh lebih cemerlang tanpa ruwet dengan urusan celana
dalam, kutang, dan penis yang tegang. Belum lagi soal klaim sang pacar “nemenin
kamu berjuang dari nol” adalah kata-kata dusta level Fir’aun saat bilang “ana
robbukumul a’la” (Aku tuhan kalian yang maha tinggi). Yang berhak mendapatkan
penghargaan nobel nemenin berjuang dari nol adalah orangtua. Mereka telah
melakukan upaya terbaiknya untuk kebahagiaan dan kesuksesan sang anak. Tak
hentinya do’a, dukungan, dorongan, cinta, mereka persembahkan untuk sang buah
hati, bahkan kadang terpaksa mereka harus lakukan dengan cara-cara yang membuat
anaknya merasa tak disayang. Disanalah kekuatan cinta sejati yang membuat sang
anak terbang tinggi menggapai asa. Bukan cinta bau terasi yang sedikit-sedikit
minta cipokan atau sun jauh saat video call-an.
Ketertarikan
kepada lawan jenis dan dorongan seksual memang hal wajar, karena justru yang
tidak mengalaminyalah yang ngga normal. Yang jadi masalah kalau liat fakta yang
terjadi di kalangan remaja dan anak muda, survey perilaku penyimpangan seksual
mereka bikin geleng-geleng kepala. Pacaran jadi salah satu modus operandi muda
mudi sange. Meningkatnya Indeks pembangunan manusia pada dimensi dasar berupa
pengetahuan menjadi omong kosong belaka jika tatanan sosial dan nilai keagamaan
awut-awutan.
Sepuluh
orang pemuda yang Soekarno bilang dapat menggoncang dunia malah gaceng sambil
anteng pacaran. Mau dibawa kemana bangsa ini perguso? Okelah mungkin
diasumsikan seseorang melakukan pacaran syar’i dengan tetap mematuhi protokoler
keagamaan, di bawah pengawasan dewan kasepuhan dan ormas spiritual. Tapi dapat
dipastikan anak muda akan kehilangan atau setidaknya terrengut sebagian energi,
fokus perhatian, pikiran, waktu, uang jajan, pulsa/kuota, untuk sang pacar.
Bayangkan jika semua hal itu dicurahkan untuk hal yang lebih produktif,
misalnya diskusi atau kajian logika dan filsafat, membicarakan problem sosial
masyarakat, tukar pikiran wawasan kebangsaan dan keagamaan, ngobrolin soal
pendidikan dan upaya peningkatannya, bincang ekonomi, peluang kerja, dan
kewirausahaan, atau hal-hal besar lainnya. Dengan demikian ide, gagasan, dan
pikiran besar terembrio dan menyebar di kalangan anak muda sehingga pikirannya
tercerahkan, tidak lagi kerdil dan sangean.
Perjuangan
para nabi dan rasul, filsuf atau ahli tasawuf, adalah dalam rangka memanusiakan
manusia. Jangan sampai potensi agung yang tuhan karuniakan kepada manusia
dibuang dengan percuma, lalu dengan bangga jadi binatang yang jalang. Pacaran
tanpa disadari telah jadi budaya jahiliah bangsa Indonesia yang konon dahulu
adalah bangsa yang sangat memegang teguh nilai, norma, dan adat ketimuran. Akan
sangat mengerikan jika hal semacam ini terus diwariskan pada generasi
selanjutnya. Pemakluman-pemakluman kecil terhadap kebiasaan pacaran akan
menjadi awal kerusakan moral dan kemanusiaan. Akhirnya berangkat dari kejujuran
terhadap diri sendiri dengan berat hati saya harus katakan pacaran adalah
saling mencintai dengan cara paling tidak manusiawi. Merendahkan nilai
kemanusiaan sekaligus menciptakan problem sosial di tengah masyarakat.
Budaya
pacaran melahirkan generasi muda yang mudah galau. Padahal usia muda menjadi krusial
untuk membangun mental agar tak melempem. Pacaran mengajarkan cara-cara instan
mendapatkan hiburan cinta amatiran. Dengan demikian hal-hal fundamental perihal
kehidupan terabaikan. Pertanyaan mendasar soal kehidupan (Dari mana manusia berasal?
Kemana tujuan hidup? Untuk apa kehidupan ini?) tak sempat lagi dipikirkan
dengan serius.
Lirik
lagu Iksan Sekuter agaknya dapat menjadi renungan “Makin hari makin susah saja menjadi manusia
yang manusia, sepertinya menjadi manusia
adalah masalah buat manusia”. Apapun yang
seseorang bicarakan tentang perbaikan dunia, negara, kota, lingkungan, keluarga,
semuanya harus dimulai dari perbaikan diri terlebih dahulu. Tulisan terbatas
ini merupakan nasihat untuk pribadi penulis, yang mudah-mudahan juga bermanfaat
untuk pembaca.
Mursyid Al Haq
Banjar, 05 Juni 2021
9 Comments
Is the best...👍👍❤🌷⚘
ReplyDeleteSujses dan berkah selalu..
ReplyDeleteLanjutkan..!!
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDelete👍
ReplyDeleteKereeen
ReplyDeleteMantaapp sarkas skali..
ReplyDeleteMantap sarkas sekali..
ReplyDeleteMantul ini mahh...👍🏻🦾
ReplyDelete