Corana datang tiba-tiba tanpa
aba-aba. Negara-negara di atas bumi bulat dan bumi datar kelimpungan mengatasi
wabah sekaligus dampak yang ditimbulkannya. Dari ekonomi yang melemah hingga
syahwat yang menguat. Tak peduli negara kuat adikuasa atau negara sengsara ikut
dilumat habis covid-19 tanpa ampun. Begitupun Indonesia kini sedang dalam
keadaan darurat perang melawan si Virus lincah dan gesit itu. Penyebarannya
lebih masif dari paham Komunis atau Islam Fundamentalis. Bahkan seorang Filsuf
intertaimen menyatakan akibat dari Virus ini masih belum akan selesai hingga
tahun 2070. Pasalnya surat utang akan menjadi beban kita 50 tahun kedepan. Tak
perlu panjang lebar bahas soal itu, kita mulai saja bahas sikap norak para Agamawan.
Toh yang bayar hutang bukan hanya saya, anda, ibu, atau, kakek, nenek kita,
yang bayar kan kita bersama patungan lewat pajak dan seterusnya.
Kalau boleh kita amati, sikap
sebagian orang yang diposisikan sebagai penyeru agama makin kesini makin norak,
tak bijak, dan ngawur. Perhatikan saja dari pertama virus Corona mulai
menjangkit rakyat China dengan mudahnya masyarakat Indonesia dihembusi opini
sesat "Corona adalah tentara Allah". Kemudian setelah corona masuk ke
Arab Saudi kita bertanya-tanya lagi, korona mau pada umroh kali yah ke Makkah?
Si virus corona yang gesitnya
ngalahin motor Beat tak butuh waktu lama untuk datang ke Indonesia. Masyarakat,
Agamawan, dan aparat pemerintah kita terlalu pede, merasa punya badan kebal.
"Kita sudah biasa hidup dengan alam bebas, kita ngga akan mempan sama
Corona" atau pernyataan "Masyarakat Indonesia rajin baca do'a Qunut
sehingga akan terhindar dari Corona" dihembuskan dan berkembang di tengah
masyarakat. Hingga pada akhirnya kita tumbang dan genderang perang segera
ditabuh. Aktivitas publik mulai diminimalisir dan dihindari, kerja dan belajar
di rumah mulai dikampanyekan, termasuk aktivitas keagamaan juga dilarang karena
sangat potensi sekali menjadi media penyebaran Virus.
Pelarangan aktivitas keagamaan
banyak menuai pro kontra. Di sinilah para Agamawan mulai menampilkan wajah
norak dan tak berpendidikan. Bayangkan larangan Salat berjama'ah di masjid dan
Salat Jum'at banyak gagal dipahami para Agamawan, parahnya kegagalan paham
mereka ditularkan secara masif ke tengah masyarakat. Akhirnya muncul pernyataan
tak lucu seperti membanding-bandingkan antara takut Virus dan Takut dengan
Allah/Tuhan. Ada lagi yang mempertanyakan (kenapa Masjid di tutup tapi pasar
tidak?). Saya bingung harus dari mana mulai mencari dan menggali jawaban
sedangkan pikiran mereka sedangkal itu.
Setelah beberapa kegagalan paham Agamawan
yang disebutkan diatas, masih banyak lagi hal-hal remeh temeh serupa yang telah
dan terus akan mengkerdilkan paradigma umat dan bangsa ini. Memang seperti para
bijak katakan kebodohan itu seperti kegelapan tak dapat diukur dan tak kenal
tapal batas. Saya tak hanya ingin mengoceh soal kenorakan para Agamawan, tapi
juga akan menyampaikan harapan.
Pertama mari kita sudahi
memperdebatkan hal tidak substansial, termasuk soal ritual-ritual keagamaan
kolektif yang sementara ini harus diliburkan. Hukum dan dalilnya sudah jelas dan
pasti dari naqli juga aqli. Tak peduli itu di Masjid, Gereja, Pura, Vihara,
Klenteng, dan lain sebagainya perlu ketat dan disiplin agar media penyebaran Virus
dapat kita tekan. Karena jika masih terus sibuk dengan hal receh semacam itu,
kita akan kehilangan waktu untuk memikirkan hal-hal produktif, termasuk kehilangan
kesempatan untuk mempersiapkan diri agar dapat bangkit pasca wabah. Jadi, jika
nanti salat Idul Fitri ditiadakan ngga perlu heboh apalagi maksa mengadakan,
biasa aja lah guys. Hal paling penting adalah kita harus lulus setelah
pendidikan Ramadhan di masa pandemi penuh kekhawatiran ini. Karena ibadah itu
tak perlu meriah yang penting berfaidah. Seandainya kita mau sedikit lebih
serius belajar Agama khususnya bagi para manusia yang merasa muslim, Maqosidu
Syariah sudah begitu jelas bahwa kita perlu menjaga kelangsungan hidup diri
serta keluarga, jadi ngga perlu sok jagoan nantangin si Virus Korona hanya
karena ingin terlihat beragama. Korona dapat menyerang siapa saja apalagi yang
jumawa. Korona tak pandang bulu, baik bulu ketiak atau bulu-buluan lainnya.
Kemudian yang kedua saya
berandai-andai para Agamawan dapat berpikir besar dan global mencoba mengambil
peran strategis sebagai sosok-sosok yang bunyi mulutnya didengar banyak
kalangan, untuk berupaya mencerdaskan masyarakat. Ada banyak ahli kesehatan,
ahli ekonomi, dan ahli-ahli lainnya yang sudah berupaya keras untuk memikirkan
dan menganalisis problem yang sedang bersama-sama kita hadapi. Tak terhitung
banyaknya hal yang perlu kita sama-sama pahamkan pada jutaan bangsa ini.
Agamawan seharusnya mengambil
langkah strategis untuk menguatkan dan mengkonsolidasi umat. Tapi apa yang bisa
diharapkan dari Agamawan yang jahiliah serta norak. Saat para ekonom sudah jauh
membahas dan melayangkan kritik atas neoliberalisme dan strategi pasca Corona,
termasuk soal arah ekonomi negara dan bangsa ini Agamawan masih sibuk dengan
hal kontra produktif. Tim medis dan para ahli kesehatan tak henti-hentinya
berjuang di garda terdepan berperang melawan wabah, dari upaya penanganan
hingga penelitian untuk mencari solusi dan jalan keluar agar memenangkan
peperangan, lagi-lagi Agamawan semakin menjadi-jadi menunjukan keawaman
terhadap agamanya sendiri. Akhirnya agama tak menampakan wibawa dan wajah
megahnya. Agama jadi bualan-bualan basi yang memperkeruh situasi dan kondisi.
Jika kejumudan Agamawan terus
dibiarkan atau dipelihara, agama bukan hanya dapat jadi Candu tapi agama akan
jadi Racun bahkan Virus yang jauh lebih mematikan dari Corona itu sendiri.
Padahal betapa agungnya ajaran Agama yang dibawa para nabi dan utusan suci. Agama
yang dibawa Kanjeng Nabi Muhammad Saw Agama yang mengetaskan kemiskinan,
menghilangkan perbudakan, diskriminasi, dan ketidak adilan, ajarannya
mencerdaskan dan menjadi solusi sosial umat manusia. Begitupun agama lainnya
tentu punya banyak ajaran luhur dan komplit untuk menuntun seseorang agar
benar-benar jadi manusia yang merdeka, tercerahkan, dan jadi jalan keluar
kemelut sosial penganutnya.
Namun kenyataan berkata lain,
ulah Agamawan dari waktu ke waktu kian menjengkelkan. Agama setelah diecer
murah untuk hal pragmatis temporer pada akhirnya tak akan pernah jadi titik
tolak perubahan dan perbaikan kehidupan masyarakat. Sehingga ketika umat
manusia menghadapi kondisi darurat, yang mungkin salah satunya dapat berupa
wabah seperti yang sedang melanda planet bumi sekarang ini, agama tak punya taring untuk ikut berjuang
memenangkan perang. Agama sepertinya cuma mampu sebatas mengatur soal cara
ceboknya manusia, paling canggih mengajarkan juklak juknis senggama hasil
komparasi hukum fiqh dan kamasutra. Menyedihkan sekali kawan. Problem borok dan
bobroknya Agamawan sebenarnya sudah sejak lama terjadi, namun di tengah pandemi
dan masa-masa sulit seperti sekarang ini semuanya nampak jelas, terang
benderang, dan telanjang.
Mursyid Al Haq
Jakarta, 6 Mei 2020
0 Comments