Maaf Formalitas

Maaformalitas
"Manusia tempat salah dan lupa" begitu cara melegitimasi dosa serta dalih terindah guna menutupi kesalahan dan kegoblokan diri, dan terbukti sangat ampuh sehingga melahirkan pemakluman... asyik. Betapa mudahnya cuci tangan bukan? Berbuat salah rasanya sudah menjadi perilaku kita sehari-hari, tak butuh momentum untuk melakukan perbuatan tidak benar, baik berupa kezaliman terhadap orang lain juga kepada diri sendiri dengan banyak macam cara. Jika berbuat keliru tak kenal waktu, kenapa memohon ampun dan meminta maaf butuh acara khusus serta ritual formal. 
Mesin pencarian Google saat menjelang lebaran atau idul fitri dipastikan akan banyak bekerja untuk mencari situs penyedia kata-kata permohonan maaf. Kata kunci maaf jadi trending topik. Hari itu akan menjadi hari penuh maaf, baik maaf-maafan konvensional ataupun elektrik. Sucikan hati di hari yang fitri jadi jargon dan iklan paling laku dan populer, dari iklan sirup sampai iklan kondom dan celana dalam, Heuheuheu.
Tak ada yang salah soal meminta maaf kepada manusia serta mohon ampun kepada Tuhan yang esa, baik saat momen idul fitri, sebelum, atau sesudahnya. Justeru masalahnya ada pada setelah ritual maaf-maafan ini berlangsung, hingga berulang lagi pada lebaran tahun depan. Maaf yang bersifat formalitas dan ritual semata, tentunya tidak akan menghasilkan apa-apa selain dari kepura-puraan dan pengulangan dosa yang sama. Maaf yang kehilangan hakikat nilai dan esensinya, tidak akan membuat ahli gosipin tetangga dan nyinyirin teman berhenti, apalagi taubat nasuha. Ahli dengki  tetap menjadi pendengki bahkan akan menjadi semakin hebat dalam menebar benih kebencian. Bahkan saat berkeliling kampung untuk silaturahim dan bermaaf-maafan sembari berpamer ria pakaian mahal dan perhiasan emas permata, dan lebih gilanya lagi, tetangga yang kalah kompetisi bagus-bagusan baju lebaran sekonyong-konyong menebar fitnah dan hoaks, bahwa baju tetangganya dibeli dari hasil maling ayam wkwkkw.
Saat maaf sekedar jadi basa-basi yang kehilangan arti. Lelucon yang tak kalah menggelikan dari fenomena maaf-memaafkan atau bermaaf-maafan ini terjadi antara orang yang hanya bertemu saat hari raya yaitu satu tahun sekali, sedangkan dengan teman  sehari-hari bergaul, kawan kerja yang doyan diajak bercanda, tetangga yang penuh suka duka dilupakan begitu saja, cukup chat lewat whatsapp itu sudah luar biasa. Jadi maaf cuma sekedar pemanis buatan dan buah bibir semata.
Maaf semestinya menjadi titik tolak pembaharuan persaudaraan, kasih sayang, dan kehidupan penuh cinta. Melalui momentum langka Ramadhan-Syawal yang penuh renungan tentunya akan merekontruksi kehidupan dan tatanan sosial yang ada. Zakat fitrah tentu menyimpan makna mendalam dan simbol luar biasa bahwa kesalehan individu kita, yakni berpuasa mesti disempurnakan dengan kesalehan sosial seperti zakat, infaq, dan sebagainya.
Maaf formalitas lahir dari ritual yang kering dari makna. Ritual sespiritual apapun tanpa usaha perenungan nilai dan makna yang terkandung, alih-alih akan menumbuhkan rindu untuk melakukannya yang terjadi rasa muak dan jadi beban hidup semata.
Semoga melalui momentum lebaran beserta fenomena maaf-memaafkan, bagi-bagi THR, dan makan-makan ketupat campur opor ayam, menjadi jalan merajut kembali persaudaraan, merawat indahnya bersama dalam jalinan cinta dan kasih sayang. Karena soal perbedaan yang sudah ada sejak jaman azali ini tak selayaknya bisa mengoyak persatuan dan kesatuan, baik dalam berbangsa, bernegara. Doktrin yang paling manusiawi dan tuhan setujui adalah doktrin kebebasan beragama, bermadzhab, berkeyakinan, dan berpikiran, tanpa perpecahan dan permusuhan. Mari kita saling maaf-memaafkan jangan pandang bulu karena hanya mereka yang baligh yang sudah tumbuh bulu.
Banjar, selasa 4 juni 2019 M/30 Ramadhan 1440 H

Post a Comment

0 Comments