Setelah selesai pakai sarung dan baju koko aku sempatkan melihat wajahku di cermin sambil merapikan peci. Aku ingat tanggal 25 desember merupakan hari natal, dimana dalam pemahaman saudara kita yang kristiani hari natal berarti sebuah Hari Raya untuk memperingati maulidnya (lahirnya) Yesus Kristus atau Isa Almasih. Sengaja hari ini aku berpakaian rapi, soalnya mau sowan sama pak kyai sekaligus pamit untuk ikut merayakan natal atau lebih tepatnya mengamankan perayaan Natal.
Setibanya di depan pintu rumah pak kyai tanpa ragu kuketuk tiga kali. Aku kaget, tiba2 pak kyai menepuk punggungku dari belakang, ternyata pak kyai baru pulang dari mesjid sedari subuh tadi. Ada apa le, pagi2 tumben sudah bertamu? Tanyanya. Anu pak kyai, saya mau pamit minta izin ikut natal di gereja katedral. Jawabku penuh keyakinan. Walah serius kamu? Dengan sedikit keheranan pak kyai bertanya lagi. Iyah saya serius pak kyai. Sudah mantap dan yakin kamu mau pergi ikut natal? Iyah pak kyai insyaallah saya mantul dan yakin pak kyai. Mantul itu apa le? Mantap betul pak kyai. Walah ada2 saja kamu le. Yasudah kalau mantap dan yakin pergi sana nanti kesiangan, beruntung kalau ngga kejebak macet di jalan!
Begitulah cuplikan indah percakapan seorang santri dengan sang Kyai. Entah mungkin atau mustahil terjadi wallohu alam bi showab yang jelas dengan fiksi aku punya mimpi. Jujur saya merasa khawatir jika seorang pelajar agama seperti santri tak punya jiwa toleransi tingkat tinggi. "Santri hari ini adalah kyai masa depan" begitulah pepatah mengatakan. Kita semua sadar sudah cukup lama kita kehilangan tokoh kyai yang terkenal toleransi, iyah Abdurahman Wahid atau lebih populer dikenal dengan nama GusDur. Kapan akan muncul GusDur baru yang mampu menyuarakan toleransi, tidak membiarkan jarak antar agama menganga, sehingga persaudaraan tidak diobral secara murahan. Santri milenial mestinya lebih sadar bahwa negeri ini plural termasuk soal agama dan keyakinan. Setidaknya ada enam agama yang resmi diakui di Indonesia yaitu: Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan Kong Hu Cu.
Sudah kita sering dengar bahkan mungkin hafal bunyi UUD 1945 Pasal 29 Ayat (2) "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing- masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu". Dengan demikian sudah selayaknya kita menghormati, mendukung, dan memastikan keamanan setiap warga negara dalam menjalankan ajaran agamanya. Khususnya perayaan hari raya mereka, kebetulan pada kesempatan kali ini bertepatan dengan Hari Raya Natal.
Mungkin orang bisa berkata toleransi itu punya batasan, aku setuju dan itu sah-sah saja. Namun persoalan hari ini kenapa kita harus sibuk dengan persoalan halal haram mengucapkan selamat hari natal. Kenapa kita enggan untuk menunjukan wajah kebahagiaan kita di hari raya saudaranya yang beda agama. Kalaupun dalam pemahaman sebagian kelompok itu dianggap haram tak perlu dibesar2kan dengan teriakan. Belum lagi soal surat edaran seorang walikota yang terkesan agak negatif, dengan menyatakan himbauan yang kurang masuk akal. Bukankah faktanya mereka saudara kita yang berbeda agama justeru seringkali ibadah dalam keadaan tak tenang karena bayang-bayang terorisme atas nama Islam? Diakui atau tidak itu yang terjadi. Sudah semestinya muslim menunjukan kasih sayang dan rasa aman kepada saudaranya yang tak seiman. Tunjukkan ajaran luhur Nabi sebagai rahmat seluruh alam. Mari ramah-ramah jangan marah-marah.
Hal demikian jika tidak santri dan para kyai yang memprakasai serta memulainya dengan segera, siapa lagi? Bukankah bagian dari representasi murni kaum muslimin tak lain dan tak bukan adalah sosok santri serta kyai!
Sudahlah akhiri keegoisan kita semua. Karena saya tidak suka dengan bahasa minoritas dan mayoritas, yang jelas kita semua bersaudara. Bahagialah dengan kebahagian orang lain jangan malah sengsara. Dia yang bukan saudaramu dalam iman adalah saudaramu dalam kemanusiaan begitu kata sayyidina Ali.
Mursyid Al Haq
Jakarta, 25 Desember 2018
0 Comments